Fakta Jika Ada Penerapan Darurat Militer di Indonesia - Silver Gold Diamond
40chanX8vzxiLN4Hf5d3m9KCqhcBhjEPyKkMWGM4
Translate

Fakta Jika Ada Penerapan Darurat Militer di Indonesia














Fakta Jika Ada Penerapan Darurat Militer di Indonesia

Suatu negara dapat secara sah ditetapkan memberlakukan darurat militer apabila otoritas sipil mengalami keruntuhan total atau terganggu secara signifikan ~ misalnya akibat pemberontakan bersenjata, bencana luar biasa, demonstrasi yang anarkhis, atau perang ~ sehingga fungsi administratif maupun peradilan sipil nggak lagi dapat dijalankan secara efektif. Termasuk didalamnya adalah ketika kantor-kantor pemerintahan sudah hancur lebur atau terbakar habis, juga adanya upaya-upaya untuk delegitimasi aparatur negara maupun aparat sipil yang diawali dengan hancurnya cagar budaya termasuk museum bersejarah, hancurnya kantor-kantor kepolisian, hancurnya rumah sakit, hancurnya lembaga-lembaga pendidikan, serta hancurnya beragam fasilitas umum yang selalu dipergunakan oleh masyarakat. 

Disamping itu juga dengan adanya kerusuhan yang tak dapat diredam lagi sehingga banyak memakan korban harta benda, dan nyawa manusia baik yang dilakukan oleh aparatur negara maupun kelompok-kelompok massa yang lazimnya selalu ada di setiap acara demonstrasi. Dalam konteks hukum internasional, penetapan darurat militer harus memenuhi prinsip-prinsip seperti adanya 'ancaman terhadap kehidupan bangsa', proporsionalitas, dan sifatnya yang temporer. Sejumlah negara bahkan memiliki aturan formal, contohnya Korea Selatan yang membedakan antara emergency martial law dan guarding martial law, serta mensyaratkan deklarasi oleh presiden, pertimbangan dewan negara, serta pemberitahuan kepada parlemen. Prinsip-prinsip ini penting untuk memastikan bahwa penerapan darurat militer tetap berada dalam koridor hukum serta menghormati hak asasi manusia.

Fakta Dasar yang Menjadi Landasan Penerapan Darurat Militer

1. Keruntuhan Otoritas Sipil

Apabila pemerintahan sipil sudah nggak mampu menjalankan fungsi administratif dan hukum, maka militer dapat mengambil alih sementara. Di Amerika Serikat, misalnya, martial law dianggap sah apabila otoritas sipil 'ceased to function, is completely absent, or has become ineffective'. Kondisi ini menggambarkan situasi yang amat gawat, karena lembaga sipil sudah nggak lagi mampu bertahan.

2. Ancaman terhadap Keberlangsungan Negara

Menurut hukum internasional, darurat militer hanya dapat diterapkan bila terdapat ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup suatu bangsa. Contohnya perang, pemberontakan, atau bencana skala besar. Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa menegaskan bahwa kondisi darurat harus berupa 'public emergency threatening the life of the nation' dan respons yang diambil harus 'strictly required by the exigencies of the situation'

3. Landasan Hukum Nasional

Setiap negara memiliki mekanisme formal yang berbeda. Di Korea Selatan, prosedurnya mewajibkan presiden mendeklarasikan darurat militer, mempertimbangkan masukan dewan negara, lalu melaporkannya ke parlemen. Pada kondisi emergency martial law, otoritas administrasi dan peradilan dialihkan kepada komandan militer. Hal ini dilakukan untuk memastikan adanya transparansi dan pengawasan.

4. Proporsionalitas dan Sifat Sementara

Penerapan darurat militer wajib bersifat sementara, relevan, dan proporsional. Apabila terlalu berlebihan, maka negara dapat dianggap melanggar hak asasi manusia. Bahkan ketika darurat militer sudah berlaku, konstitusi serta hak dasar masyarakat tetap harus dihormati.

Contoh Penerapan Darurat Militer di Korea Selatan (2024)

Pada Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mendeklarasikan darurat militer dengan alasan adanya ancaman dari 'pro-North Korean anti-state forces' dan kebuntuan di parlemen. Langkah ini diiringi pembatasan kebebasan politik, kontrol media, serta larangan demonstrasi.

Parlemen dengan cepat menolak keputusan tersebut. Hanya dalam beberapa jam, mayoritas anggota parlemen memberikan suara untuk membatalkan darurat militer, dan konstitusi menuntut agar presiden mematuhi keputusan tersebut. Kejadian ini memicu ketidakstabilan politik serta memperkuat sentimen publik yang khawatir akan kembalinya praktik otoritarian.

Mengapa Fakta Dasar Ini Penting?

Menjelaskan fakta dasar penerapan darurat militer sangat penting agar masyarakat memahami bahwa keputusan tersebut nggak boleh sembarangan. Banyak tulisan daring hanya menyinggung secara singkat, tanpa menjelaskan aspek hukum, prosedur nasional, maupun prinsip hak asasi manusia. Padahal, detail-detail ini memastikan bahwa ketika darurat militer diberlakukan, negara tetap beroperasi dalam koridor hukum.

Secara umum, berdasarkan analisis di atas, terdapat beberapa fakta mendasar yang menjadi syarat sah suatu negara menerapkan darurat militer:

1) Otoritas sipil sudah nggak mampu menjalankan fungsi pemerintahan.

2) Terdapat ancaman serius terhadap keberlangsungan bangsa.

3) Tersedia landasan hukum nasional yang jelas.

Penerapan dilakukan secara proporsional, bersifat sementara, dan diawasi oleh mekanisme hukum.

Contoh Korea Selatan pada Desember 2024 menunjukkan bahwa prosedur konstitusional serta pengawasan parlemen berperan besar dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dengan memahami fakta dasar ini, masyarakat dapat lebih kritis terhadap kebijakan darurat militer yang sewaktu-waktu bisa diberlakukan di negara manapun dan di belahan bumi manapun di planet ini. 

Penjelasan Hukum Tentang Darurat Militer di Indonesia

Landasan Hukum Formal

Dalam sistem hukum Indonesia, penerapan darurat militer harus berdasar pada landasan hukum formal, yakni Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata memiliki kewenangan menyatakan darurat militer bila keamanan dan ketertiban hukum di sebagian atau seluruh wilayah negara terancam oleh pemberontakan, kerusuhan yang anarkhis, atau bencana alam, dan kondisinya nggak bisa diatasi menggunakan mekanisme biasa. Atas dasar itu, militer—melalui Penguasa Darurat Militer Daerah—dapat mengalihkan sementara wewenang pemerintahan sipil dan mengambil langkah-langkah khusus demi menjaga stabilitas nasional. Sejarah mencatat bahwa darurat militer pernah diberlakukan di Timor Timur (1999) dan Aceh (2003–2004), serta langkah pencabutan dilakukan segera setelah kondisi darurat berakhir, untuk mengembalikan fungsi pemerintahan sipil sesuai konstitusi. Perppu ini menyebutkan bahwa Penguasa Darurat Militer Daerah adalah komandan militer tertinggi ~ minimal tingkat Resimen Angkatan Darat atau setara untuk Angkatan Laut/Udara ~ yang wilayah hukumnya ditetapkan oleh Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Ia dibantu oleh kepala daerah, kepala polisi, serta kepala kejaksaan pada daerah bersangkutan 

Ruang Lingkup Kewenangan Militer

Darurat militer di Indonesia bukan hanya sekadar istilah hukum, melainkan sebuah kondisi luar biasa di mana militer mendapatkan kewenangan yang jauh melampaui keadaan normal. Dalam masa ini, tentara tidak lagi sekadar menjaga keamanan, melainkan mengambil alih sebagian besar kendali pemerintahan. Salah satu kewenangan utama adalah membatasi atau bahkan melarang distribusi senjata api di kalangan sipil. Langkah ini dilakukan untuk mencegah pemberontakan, kerusuhan bersenjata, atau potensi konflik horizontal yang dapat memperburuk stabilitas negara. Tidak berhenti di situ, militer juga memiliki hak untuk menetapkan embargo terhadap barang-barang tertentu. Barang-barang yang dianggap berpotensi disalahgunakan, seperti bahan kimia, logam, hingga peralatan industri berat, bisa masuk dalam daftar pengawasan ketat. Dampaknya tentu terasa luas, sebab kegiatan ekonomi sehari-hari ikut terganggu akibat terbatasnya peredaran barang.

Selain pengaturan distribusi senjata dan embargo, darurat militer di Indonesia juga memberi kewenangan penuh kepada tentara untuk mengendalikan lalu lintas darat, laut, dan udara. Semua jalur transportasi bisa diperiksa, dibatasi, bahkan ditutup total jika dianggap membahayakan keamanan negara. Misalnya, bandara dapat dihentikan operasionalnya untuk sementara guna mencegah penyelundupan senjata atau infiltrasi pihak asing. Di jalan raya, pos pemeriksaan militer dipasang di titik-titik strategis untuk memantau pergerakan masyarakat, sementara jalur laut bisa dikontrol ketat agar tidak ada distribusi barang ilegal. Tak hanya itu, pusat hiburan—mulai dari bioskop, klub malam, hingga area wisata—dapat ditutup dengan alasan menghindari konsentrasi massa yang rawan diprovokasi. Kebijakan ini biasanya menimbulkan rasa jenuh di masyarakat, tetapi dianggap perlu demi menghindari potensi kerusuhan.

Salah satu aspek paling kontroversial dari darurat militer di Indonesia adalah kewenangan militer untuk melakukan penahanan tanpa melalui proses peradilan biasa. Artinya, seseorang bisa ditangkap hanya karena dicurigai atau dinilai berpotensi mengganggu stabilitas. Penahanan ini bisa berlangsung dalam durasi tertentu, sesuai aturan yang berlaku, dan dapat diperpanjang bila dianggap masih diperlukan. Di atas kertas, kewenangan ini disebut sebagai langkah preventif untuk menjaga keamanan negara. Namun dalam praktiknya, penahanan berbasis intuisi atau kecurigaan sering dikritik karena berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Darurat militer di Indonesia, baik dalam catatan sejarah maupun dalam kajian hukum, selalu dipandang sebagai fase penuh ketegangan. Di satu sisi, kebijakan ini memang bisa menghadirkan rasa aman karena militer menguasai situasi dengan cepat dan tegas. Namun di sisi lain, kebebasan sipil tereduksi drastis, mulai dari pembatasan mobilitas, keterbatasan akses hiburan, hingga ancaman penahanan tanpa proses hukum yang transparan. Masyarakat pun selalu dihadapkan pada dilema: memilih keamanan dengan konsekuensi kebebasan yang terkekang, atau menuntut hak demokratis dengan risiko instabilitas yang lebih besar.

Contoh dalam Sejarah Indonesia

Dalam sejarahnya, darurat militer di Indonesia sudah beberapa kali diberlakukan. Misalnya, pada tahun 1957 ketika Presiden Soekarno menetapkan darurat militer untuk menghadapi berbagai pemberontakan daerah, termasuk PRRI/Permesta. Pada masa itu, militer berperan besar dalam menertibkan situasi, meskipun kebijakan tersebut juga menimbulkan dampak panjang terhadap dinamika politik Indonesia. Kemudian ada darurat militer di Provinsi Timor Timur, 1999: Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 1999 menyatakan darurat militer di wilayah ini. Berlaku sejak ditandatangani pada 6 September 1999, status ini dicabut lewat Keppres Nomor 112 Tahun 1999 pada 23 September 1999 setelah referendum berlangsung. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003–2004: Darurat militer diberlakukan lewat Keppres Nomor 28 Tahun 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, bertujuan menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukan pemberontakan bersenjata dan teror. Contoh lain adalah ketika darurat militer diberlakukan di Aceh pada tahun 2003. Pemerintah pusat saat itu memandang perlu mengerahkan kekuatan militer untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama periode tersebut, aktivitas masyarakat Aceh sangat dibatasi, akses ke luar-masuk daerah diawasi ketat, dan banyak kasus pelanggaran HAM yang kemudian menjadi sorotan nasional maupun internasional. Setelah situasi membaik, status ini diturunkan menjadi darurat sipil melalui Keppres Nomor 43 Tahun 2004.

Dari pengalaman historis itu, dapat disimpulkan bahwa darurat militer di Indonesia selalu menjadi fase penuh ketegangan. Di satu sisi, kebijakan ini memang bisa menghadirkan rasa aman karena militer menguasai situasi dengan cepat dan tegas. Namun di sisi lain, kebebasan sipil tereduksi drastis, mulai dari pembatasan mobilitas, keterbatasan akses hiburan, hingga ancaman penahanan tanpa proses hukum yang transparan. Masyarakat pun selalu dihadapkan pada dilema: memilih keamanan dengan konsekuensi kebebasan yang terkekang, atau menuntut hak demokratis dengan risiko instabilitas yang lebih besar.

Prosedur formal untuk memberlakukan darurat militer di Indonesia yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu adalah berlandasan pada hukum di Indonesia yang tertuang dalam Perppu 23/1959 atau berdasarkan pada kewenangan Presiden/Panglima Tertinggi yang mana Penunjukan Penguasa Darurat Militer Daerah, dibantu kepala daerah, polisi, kejaksaan.


AKHIR KATA

Benar-benar nggak bisa dibayangkan jika saja darurat militer terjadi pada waktu sekarang ini, maka Indonesia akan mengalami kejatuhan ekonomi, kejatuhan nilai-nilai kemanusiaan, kejatuhan nilai-nilai moral, dan ini yang paling mengerikan......Hak asasi manusia untuk hidup dengan nyaman, aman, tenang, tenteram, dan damai akan lenyap. Mari kita berdoa dengan khusuk agar kondisi sosial politik di Indonesia segera membaik tanpa diiringi oleh hal-hal yang merugikan kepentingan masyarakat banyak, sehingga sudah nggak perlu lagi adanya darurat militer di Indonesia mulai sekarang sampai kapanpun. Amin.


REFERENSI:

1. https://www.ojp.gov/ncjrs/virtual-library/abstracts/martial-law-times-civil-disorder

2. https://www.military.com/history/martial-law-everything-know.html

3. https://www.amnesty.org/en/latest/news/2024/12/south-korea-martial-law-must-not-be-used-to-restrict-human-rights/

4. https://www.vox.com/world-politics/389580/south-korea-president-yoon-martial-law-north-korea

5. https://www.theguardian.com/commentisfree/2024/dec/04/martial-law-came-to-south-korea-and-my-friends-and-i-doomscrolled-through-the-night

6. https://www.csis.org/analysis/yoon-declares-martial-law-south-korea

7. https://apnews.com/article/south-korea-martial-law-north-korea-emergency-b310df4fece42c27051f58b8951f346f

8. https://www.antaranews.com/berita/4515465/darurat-militer-pengertian-dan-penerapannya-di-indonesia

9. https://www.detik.com/jogja/berita/d-7670645/apa-bedanya-darurat-sipil-dan-darurat-militer-ini-aturan-pemberlakuannya

10. Buku Somewhere in the jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, sebuah mata rantai sejarah yang terlupakan By Mestika Zed, 355 halaman, terbitan 1997 di Pustaka Utama Grafiti. 

Posting Komentar