Aku bukan orang yang percaya pada kebetulan. Tapi hari ini, semesta seolah sengaja memainkan simfoni kecil agar aku dan putra sahabatku bertemu disini (sahabatku biasa dipanggil Bondet oleh rekan-rekannya sesama kenek truk gandeng, dia sudah meninggal dunia pada tahun 2014 ketika sedang mencari nafkah untuk keluarganya). Pertemuan di tempat yang tak terduga, dalam waktu yang tak direncanakan. Saat dia masih kecil selalu aku beri oleh-oleh sekotak besar serabi Solo kesukaannya, karena waktu itu aku masih tinggal di Solo, Jawa Tengah. Kebetulan saat ini aku ada janji pertemuan dengan beberapa supplier buku-buku edisi cetak di Surabaya dan mereka meminta pertemuan itu diadakan tanggal 11 Juli 2025 yang bertempat di Fifteenth Cafe yang berlokasi di daerah Ngagel, Surabaya Timur.
Singkat cerita setelah pertemuan usai dan menghasilkan sebuah kesepakatan dagang, aku memutuskan nyantai di hotel dulu selama beberapa hari untuk menikmati keindahan kota Surabaya sebelum bertolak pulang ke Jakarta. Malam itu, aku sangat takjub melihat perkembangan kota Surabaya Barat yang sekarang menjadi mirip kota-kota besar di daratan Eropa. Menurut pandangan pribadiku, Jakarta sangat kalah jauh jika dibandingkan dengan kota ini. Jujur, Surabaya Barat ini sangat rapi dan tertata dengan baik. Seandainya pak Gubernur DKI Jakarta dan Bung Rano Karno melihat Surabaya yang sekarang, pasti bapak-bapak itu sependapat denganku. Kembali ke kisahku, aku berkendara santai melewati hiruk-pikuk Surabaya Barat, dengan niat sederhana yaitu mampir sebentar ke Food Junction Grand Pakuwon sebelum pulang ke hotel tempatku menginap. Cuaca cerah, angin lembut, dan dentuman ringan dari speaker panggung live music yang baru saja disiapkan oleh kru panggung ~ semuanya mengundang langkahku untuk singgah lebih lama.
Aku parkir mobilku didekat area barat yang menghadap ke panggung terbuka (barat atau selatan? aku nggak hafal arah disini), lalu menggeliat sebentar. Pandanganku tertarik oleh Honda CRV abu-abu metalik dengan jendela setengah terbuka yang baru saja berhenti di sebelahku, hal itu membuatku mengurungkan niat untuk melangkah masuk karena aku merasa pernah berkomunikasi menggunakan video call dengan pengemudinya. Dari dalamnya keluar seorang pemuda dengan postur gagah, tinggi sekitar 172cm, rambut panjang yang dikuncir rapi, dan aura ketegasan yang tak asing bagiku. Di sebelahnya, seorang gadis remaja setinggi 160cm yang manis berambut lurus ikut turun sambil membawa tas kecil.
'Nak Jarot?' aku menyapanya dengan agak ragu, karena selama ini hanya video call saja. Suara yang sama seperti dulu saat aku memanggil ayahnya, yaitu sahabatku sejak tahun 2010, semasa dimana kami masih sama-sama berjuang untuk melanjutkan hidup. Jarot menoleh, lalu tersenyum lebar. Senyum yang sangat mirip dengan almarhum ayahnya.
'Om Dewa?' jawabnya, ramah dan hangat. Ternyata dia masih ingat aku. Kami berjabat tangan dengan erat, lalu berpelukan sebentar. Di wajahnya, aku bisa lihat keterkejutan yang bercampur haru. Jarot memang sudah lama mengenal suaraku. Kami pernah beberapa kali berbicara lewat sambungan video, tapi ini pertemuan pertama kami secara langsung setelah bertahun-tahun. Lia, adiknya, ikut tersenyum sopan. Ia tampak penasaran, tapi tetap tenang seperti gadis cerdas yang tahu kapan harus bicara dan kapan harus menyimak.
'Mau makan, Om? Kita baru aja sampai.'
'Boleh. Om juga belum makan....kamu mirip ayahmu, Nak' begitulah jawabku, aku terharu dan berujar dalam hati, 'Bondet, kau berhasil mendidik anakmu, Sobat. Semoga kau tenang disana.'
Kami memilih meja yang agak ke tengah, nggak terlalu dekat panggung tapi cukup untuk mendengar alunan gitar akustik. Makanan datang, kami mengobrol, tertawa, dan saling berbagi cerita. Jarot kini tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga matang secara emosi. Aku bisa melihat sorotan matanya saat ia berbicara. Dia tegas, tenang, tapi penuh empati. Sifat yang dulu dimiliki ayahnya, kini hidup kembali di dirinya. Ia cerita soal Lia, soal bagaimana ia berjuang sendiri membesarkan adiknya dan merawat mamanya sejak ditinggal sang ayah, soal bagaimana ia pindah keyakinan pada tahun 2020 dengan hati yang tenang, bukan karena kecewa, tapi karena menemukan kedamaian dengan keyakinannya yang baru.
Aku mendengarkan dengan seksama.
Sebagai sahabat ayahnya, aku merasa bertanggung jawab untuk menjaga warisan nilai. Dan malam ini, aku menyaksikan langsung bahwa nilai-nilai itu nggak hilang. Sama sekali nggak hilang, hanya berganti bentuk lewat generasi. Setelah kami selesai makan dan mengobrol, dan ternyata malah aku yang ditraktir padahal aku makan banyak banget hehehe :) Saat di parkiran, Jarot memintaku dengan sopan untuk berkunjung ke rumahnya besok pagi, tepatnya pada tanggal 12 Juli 2025, mumpung hari Sabtu.
Suasana di Surabaya Timur pagi itu terasa hangat, meski langit mendung seperti menggantungkan rintik yang tak jadi jatuh. Mobilku berhenti di depan sebuah rumah dua lantai bergaya modern minimalis, dengan pagar hitam elegan dan taman kecil yang tertata rapi di halaman depan. Saat pagar dibuka otomatis, sosok Jarot muncul dari balik pintu utama, mengenakan kaos abu-abu polos dan celana panjang santai. Wajahnya yang sejuk menyambutku dengan senyum tulus.
'Om Dewa, silakan masuk.'
Interior rumahnya rapi dan nyaman, lantai marmer hangat, sofa kulit cokelat tua, rak buku minimalis di sudut ruang tamu. Tak ada kesan berlebihan. Semuanya tertata dengan selera yang sederhana tapi berkelas. Di meja tamu, sudah tersaji kopi hitam buatan Jarot dan sepiring kue kering yang baru saja diletakkan oleh Lia, adik perempuan Jarot yang masih berumur 13 tahun. Jarot bilang, tadi mamanya baru saja berangkat jalan-jalan pagi bersama para tetangga.
Kami bertiga duduk berhadapan. Aku menyandarkan tubuhku di sofa empuk, memandangi pria muda di depanku yang kini jauh berbeda dari bocah kecil yang pernah diceritakan ayahnya dulu.
'Aku masih ingat waktu pertama kali dengar cerita tentang kamu, Nak,' kataku perlahan.
Jarot hanya tersenyum kecil. Lalu kami mulai membuka lembar demi lembar kisah masa lalu.
Tahun 2014. Ayah Jarot meninggal dunia, dan sejak itu hidup berubah drastis. Jarot yang masih kecil harus turun ke jalan, bekerja apa pun demi memastikan ibunya dan adiknya, Lia, tetap bisa makan. Ia pernah bantu-bantu jadi juru parkir, bantu-bantu kenek truk saat perbaikan mesin, hingga buruh bongkar muat. Semua itu dilakukan diluar jam sekolah tanpa pernah mengeluh, semua hinaan dan cacian adalah makanannya sehari-hari. Karena dalam hatinya, hanya ada satu tekad: dia rela berkorban apapun asal jangan sampai mama dan adik perempuannya kelaparan.
'Aku nggak bisa lupa waktu harus tidur di emperan masjid karena nggak bisa pulang, Om,' ucap Jarot sambil menatap kosong.
'Tapi dari situ aku tahu... hidup ini keras, dan orang keraslah yang bisa bertahan.'
Ia bercerita bagaimana pelan-pelan ia bangkit. Uang dari kerja keras disisihkan sedikit demi sedikit, hingga akhirnya pada tahun 2022, hasil perjuangannya mewujudkan mimpi-mimpinya menjadi nyata. Sebuah rumah seperti yang kini aku duduk didalamnya, dan sebuah mobil Honda CRV abu-abu metalik, dibeli tanpa utang, tanpa campur tangan siapa pun. Murni dari keringat dan air mata.
Sejak saat itu, tak ada lagi yang meremehkannya. Bahkan mereka yang dulu mencibirnya, kini segan berbicara kasar di hadapannya. Puncaknya, ia menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum, salah satu universitas ternama di Surabaya, dan diwisuda dengan nilai membanggakan pada tahun 2023.
'Setelah itu, Om, baru aku bisa napas panjang. Hidup nggak lagi jadi medan tempur,' katanya, tersenyum lega.
Aku mengangguk. Dalam hati, aku mengagumi betapa masa kecil yang keras nggak membuatnya tumbang, tapi justru membentuk karakter yang luar biasa: pemberani, disiplin, kuat, tegas, dan beretika tinggi. Nilai-nilai yang sulit dicari di zaman sekarang, tapi nyata dalam diri Jarot.
Sambil menyeruput kopi yang masih hangat, aku merasa tenang. Rumah ini, bukan hanya tempat tinggal Jarot, Lia, dan mama nya. Rumah ini adalah monumen perjuangan. Bukti bahwa siapa pun bisa bangkit, asal nggak menyerah. Dan aku tahu pasti, almarhum sahabatku di atas sana pasti sedang menatap anaknya dengan bangga.
Dalam hati aku berkata lagi, 'Bondet, anak lelakimu ini adalah anak yang baik, sama seperti dirimu, Sobat. Nggak sia-sia kau mendidiknya dengan tata krama dan budi pekerti yang baik.'
Sebelum berpisah, aku sempat berkata,
'Jarot, kamu tahu... Ayahmu pasti bangga. Sangat bangga.'
Ia mengangguk, nggak menjawab, tapi pandangannya menerawang. Lia menggenggam tangannya diam-diam.
Di akhir pertemuan, aku meminta izin:
'Apakah Om boleh menulis tentang pertemuan ini di blog Om? Di Jatigift.'
'Tentu, Om. Itu akan jadi kenangan karena saat ini akhirnya kita bisa ketemu secara langsung.'
AKHIR KATA
Hari ini aku nggak hanya bertemu anak dari sahabat lamaku. Aku bertemu pantulan masa lalu yang meneguhkan masa depan. Dalam diri Jarot, aku menemukan harapan bahwa nilai-nilai lama tentang keberanian, integritas, tanggung jawab, ternyata masih hidup dan tumbuh.
Terima kasih, Nak Jarot.
Terima kasih, alam semesta.
NARASUMBER
+ Jarot Bimantara Pangestu, S.H. (IG @jarot.bp)

%20(1).jpg)

Posting Komentar